Saatnya Prabowo Membersihkan Penjarah Kekuasaan: Antara Tuntutan Rakyat dan Legitimasi Politik

Saatnya Prabowo Membersihkan Penjarah Kekuasaan: Antara Tuntutan Rakyat dan Legitimasi Politik



Gelombang demonstrasi yang membara di jalan-jalan kota bukan sekadar kerumunan tanpa arah. Itu adalah suara hati rakyat yang kian lama dipendam, lalu meledak menjadi jeritan kolektif. Rakyat muak, marah, dan kecewa melihat wajah politik yang kian kotor. Mereka menuntut perubahan nyata, bukan sekadar retorika indah dari podium kekuasaan.

Dan di hadapan gelombang itu, kini Presiden Prabowo Subianto berdiri. Tidak ada lagi ruang untuk menunda. Tidak ada lagi alasan untuk ragu. Inilah momentum bagi Prabowo untuk membuktikan diri sebagai pemimpin sejati: membersihkan bangsa dari penjahat dan penjarah politik yang telah merusak sendi-sendi negara.

Politik yang Terlalu Lama Dikuasai Penjarah

Kita tidak bisa menutup mata: politik Indonesia dalam dua dekade terakhir sering kali dipersepsikan sebagai ruang transaksi. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan keadilan justru berubah menjadi pasar gelap, tempat kursi jabatan diperjualbelikan, hukum bisa dinegosiasikan, dan rakyat dijadikan alat legitimasi semu.

Inilah yang disebut oleh Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000) sebagai state capture: situasi ketika kebijakan publik dikendalikan oleh segelintir elite dan oligarki untuk memperkaya diri sendiri. Rakyat hanya jadi penonton, sementara sumber daya negara dijarah tanpa belas kasih.

Apakah ini yang dimaksud reformasi 1998? Apakah ini yang dimaksud demokrasi? Rakyat tentu akan menjawab: bukan! Demokrasi seharusnya melahirkan pemimpin yang mengabdi pada bangsa, bukan sekadar boneka oligarki.

Demonstrasi: Cermin Krisis Legitimasi

David Easton (1965) dalam teori political system menjelaskan bahwa legitimasi adalah darah kehidupan politik. Ketika rakyat tidak lagi percaya, maka sistem kekuasaan akan rapuh dan berpotensi runtuh.

Gelombang demonstrasi yang kini terjadi adalah tanda bahwa legitimasi itu mulai terkikis. Bukan hanya karena satu kebijakan, melainkan karena akumulasi kekecewaan: hukum yang tumpul ke atas, korupsi yang merajalela, oligarki yang menghisap rakyat, serta janji-janji yang tak kunjung ditepati.

Demonstrasi ini adalah peringatan dini. Jika diabaikan, ia bisa berkembang menjadi badai yang mengguncang fondasi negara.

Rakyat Butuh Aksi, Bukan Janji

Rakyat sudah terlalu lama dijejali janji. Setiap rezim datang dengan jargon: bersih, pro rakyat, anti korupsi. Tetapi apa hasilnya? Rakyat masih menghadapi harga pangan tinggi, lapangan kerja sempit, dan pejabat yang tertangkap tangan menjarah uang negara.

Inilah mengapa rakyat muak. Mereka tidak lagi percaya pada janji. Mereka hanya percaya pada aksi nyata. Dan Prabowo harus memilih: menjadi pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas, atau menjadi pemimpin yang hanya meninggalkan catatan kaki dalam sejarah.

📌 Jalan Pembersihan

1. Hukum sebagai Panglima

Prinsip rule of law (Dicey, 1885) mengajarkan bahwa hukum harus tegak di atas semua orang, tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada kompromi bagi pejabat korup, bahkan jika ia berasal dari lingkar kekuasaan sendiri.

Jika Prabowo berani menguatkan KPK, memperkuat independensi kejaksaan dan kepolisian, serta mengakhiri budaya impunitas, maka rakyat akan kembali percaya.

2. Reformasi Politik

Biaya politik tinggi adalah akar dari penjarahan. Michels (1911) dengan Iron Law of Oligarchy menjelaskan bahwa partai politik cenderung dikuasai oleh elite kecil yang mempertahankan status quo.

Reformasi pendanaan politik, transparansi kampanye, dan pembatasan politik uang mutlak diperlukan. Tanpa itu, demokrasi hanya akan melahirkan koruptor baru dalam wajah berbeda.

3. Kepemimpinan Moral

Max Weber (1922) menekankan pentingnya charismatic authority—otoritas yang lahir dari keteladanan moral. Seorang pemimpin harus menunjukkan integritas, kesederhanaan, dan keberanian.

Rakyat tidak butuh pemimpin yang hanya pandai berpidato. Rakyat butuh pemimpin yang rela berdiri di garis depan, menantang oligarki, meskipun harus menghadapi risiko besar.

Risiko yang Tak Bisa Dihindari

Membersihkan penjarah politik bukan pekerjaan mudah. Akan ada perlawanan dari mereka yang selama ini diuntungkan oleh sistem. Oligarki tidak akan tinggal diam. Mereka akan melawan dengan segala cara: menguasai media, memobilisasi massa bayaran, bahkan mencoba melemahkan pemerintah dari dalam.

Tetapi bukankah inilah ujian seorang pemimpin? Sejarah tidak mencatat pemimpin yang bermain aman. Sejarah mencatat pemimpin yang berani mengambil risiko demi bangsanya.

Retorika Sejarah

Soekarno berani melawan kolonialisme meski diancam penjara. Hatta menantang imperialisme dengan risiko hidup miskin. Nelson Mandela mengorbankan 27 tahun hidupnya demi melawan apartheid.

Kini, giliran Prabowo diuji. Apakah beliau akan menjadi pemimpin yang berani mencatat sejarah, atau sekadar pengelola kekuasaan yang melanggengkan sistem lama?

Suara Rakyat

Demonstrasi bukan sekadar protes. Itu adalah ultimatum moral rakyat kepada penguasa: pilih berpihak pada kami, atau berhadapan dengan kami.

Jika Prabowo menjawab dengan tindakan nyata, rakyat akan menopangnya dengan kepercayaan dan doa. Tetapi jika beliau memilih melindungi penjarah politik, rakyat akan turun lebih besar, lebih keras, dan lebih lantang.

Momentum Penentuan

Presiden Prabowo Subianto, inilah saatnya. Anda tidak bisa lagi menunda. Bersihkan lingkar kekuasaan dari penjarah politik. Hantam mafia kekuasaan. Tunjukkan bahwa Anda berdiri di sisi rakyat, bukan oligarki.

Jika Anda berani, sejarah akan mengingat Anda sebagai pemimpin besar. Jika Anda ragu, sejarah akan melupakan Anda, dan rakyat akan mencari pemimpin baru yang lebih berani.

Rakyat sudah menunggu terlalu lama. Saatnya membuktikan: apakah kepemimpinan ini hanya sekadar kursi, atau benar-benar amanah suci untuk menyelamatkan bangsa

Bersihkan sekarang, atau hilang selamanya.

📌 Sumber: Easton, Huntington, Weber, Sartori, Michels, Dicey, Transparency International, dll.) .(Rachman Salihul Hadi/IMC/Red.)

Lebih baru Lebih lama

World News

نموذج الاتصال